Showing posts with label CERITA DEWA DEWI. Show all posts
Showing posts with label CERITA DEWA DEWI. Show all posts

Legenda Dewi Pelindung Laut Ma Zu / Ma Co (妈祖)


Orang Tiongkok memujanya sebagai Dewi Pelindung Laut (Pelaut)-Chinese Goddess of The Sea. Punya 36 lebih julukan, namun populer sebagai "Bunda Penolong" atau Shunji Fu Ren yang dianugerahkan seorang kaisar dari Dinasti Song.

Ma Zu (Mandarin) atau Ma Cho (Hock Kian) adalah salah satu dewi dalam kepercayaan orang Tiongkok (termasuk Taiwan). Dipuja karena dikenal sebagai sosok penolong, pelindung (terutama bagi pelaut dan nelayan), dan sangat berbudi luhur. Banyak versi mengenai kisah dewi bernama asli Lin Mo Niang ini, namun semua mengarah pada satu kesamaan. Bahwa ia adalah manusia yang "terpilih" menjadi orang suci.

Legenda Ma Zu (Bunda Pelindung) ini berasal dari masa awal Dinasti Song (960-1279 M) di Tiongkok kuno pada seribu empat puluh tujuh tahun lalu. Adalah keluarga Lin (disebut juga Lim), keturunan mantan Gubernur Provinsi Fu Zian (Tiongkok) bernama Lin Fu. Anaknya bernama Lin Wei Ke menempati sebuah rumah di Provinsi Fu Zian, dekat kota Pu Tian, persisnya di sebuah pulau kecil bernama Mei Zhou (sering juga disebut Pulau Matsu -wilayah RRC).

Lin Wei -seperti juga ayahnya- adalah mantan pejabat pemerintah Tiongkok. Setelah pensiun ia kembali ke kampung halamannya. Menghabiskan masa tuanya dengan bertani dan mempelajari banyak kitab agama dan buku pengetahuan. Ia hidup bahagia, damai dan tenang.

Lin dikenal sebagai orang yang sangat saleh, baik budi, suka menolong dan berderma, sehingga sangat dihormati penduduk Mei Zhou. Dari istri tercintanya Wang Shi, Lin memiliki 6 anak, 5 perempuan dan 1 lelaki. Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Namun anak lelakinya bernama Hong bertubuh sangat lemah dan sakit-sakitan.

Wang Shi, sangat prihatin dan khawatir pada nasib anak lelakinya. Ia dan suaminya Lin, selalu memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi anak lelaki lagi. Namun yang sehat dan kuat sebagai penerus generasi marga Lin.

Kelahiran Lin Mo Niang
Suatu hari, Lin dan Wang melakukan sembahyang khusus di klenteng. Mereka memohon kepada Dewi Kuan Im untuk mengabulkan harapan mereka untuk mendapatkan seorang anak lelaki lagi. Malam harinya setelah pulang dari klenteng, Wang Shi pun bermimpi. Ia bermimpi didatangi Dewi Kuan Im yang mengatakan bahwa semua amal dan kebajikan pasangan Lin dan Wang pantas mendapat balasan. Sang Dewi memberi Wang sebuah pil bundar sebesar kelereng dan menyuruh menelannya. Wang Shi pun menelan pil tersebut.

Setelah menelan pil itu Wang Shi pun mengandung. Ia hamil selama 12 bulan. Tepat pada malam tanggal 23 bulan 3 tahun Imlek (960 M), langit di wilayah Barat Laut Mei Zhou memendarkan cahaya merah terang. Menerangi rumah Lin dan Wang. Dibarengi sinar warna-warni yang memukau, Wang Shi pun melahirkan seorang bayi perempuan.

Walau heran mengapa diberi anak perempuan, Lin dan Wang tetap bersyukur juga. Sebulan sudah kelahirannya, anak tersebut tidak pernah sekali pun menangis. Karena itulah Lin memberi nama padanya Mo Niang (Mo artinya diam; Niang artinya perempuan), "Perempuan Pendiam".

Masa Kecil
Sejak kecil Lin Mo Niang sangat berbeda dari anak seusianya. Ia tampak lebih cerdas, bijak dan terampil. Sejak umur 8 tahun, ia sudah tertarik pada pengetahuan dan buku. Kelebihannya, sekali baca, Mo Niang akan tetap mengingat apa yang telah dibacanya. Jika ada yang ingin diketahuinya, ia selalu rajin bertanya pada orang dewasa, sampai sedetail-detailnya.

Umur 10 tahun, Mo Niang sudah rajin sembahyang dan mempelajari isi kitab-kitab suci Buddha. Sampai akhirnya diusia 13 tahun ia sudah menamatkan semua pelajaran dan menguasai banyak pengetahuan dan keterampilan, termasuk dalam bidang agama dan kepercayaan. Ia berkembang menjadi remaja yang sangat cerdas, kritis dan suka menolong. Ia pun menjadi sangat dihormati penduduk Mei Zhou dan sekitarnya.

Satu kesenangan Mo Niang, yaitu ia sangat menyukai air. Kehidupan di tepi laut menempa dirinya menjadi seorang perempuan yang tak pernah gentar menghadapi dahsyatnya gelombang dan angin badai yang menghantui para pelaut. Di seluruh pulau, ia dikenal sebagai jagoan renang bahkan di gelombang laut yang besar sekali pun.

Saat remaja ini, Mo Niang pernah bertemu seorang pertapa tua. Si pertapa merasa pengetahuan umumnya ternyata masih kalah dengan Mo Niang. Dari "orang pintar" ini lah kemudian Mo Niang mendapat pelajaran mengenai taktik dan strategi militer, pengenalan dan penggunaan alat-alat perang, sampai beberapa ilmu "rahasia" leluhur.

Kebajikan
Ketika menginjak usia 16 tahun, Mo Niang mengalami peristiwa aneh. Suatu hari ia (seperti juga gadis remaja lainnya) sedang mematut diri dengan baju baru di depan cermin bersama teman remaja sebaya di sebuah taman di dekat sebuah sumur. Tiba-tiba , dari dalam sumur muncul sosok lelaki tua misterius. Penampakan itu sangat mengejutkan. Teman-temannya langsung lari ketakutan karena mengira orang tua aneh itu adalah siluman. Namun Mo Niang segera sujud menyembah, karena ia tahu sosok itu adalah jelmaan Dewa. Sang Dewa ternyata membawa sebuah jimat dari kuningan dan memberikannya pada Lin Mo Niang.

Sejak mendapat jimat, Mo Niang pun langsung memanfaatkannya untuk menolong sesama. Ia membantu menyembuhkan orang sakit, memberi penghiburan pada yang bersedih, menjauhkan malapetaka dan banyak perbuatan baik lainnya. Kemahirannya dalam pengobatan ini menyebabkan orang-orang di desa menyebutnya sebagai ling nu (gadis mukjizat), long nu (gadis naga) dan shen gu (bibi yang sakti).

Pernah suatu kali saat usianya baru 17 tahun, Mo Niang melihat ada kapal yang berlayar di dekat Pulau Mei Zhou yang sedang dipermainkan badai besar. Kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Namun Mo Niang segera melompat ke laut dan dengan cekatan ia menyelamatkan seluruh pelaut yang terjebak badai tersebut. Semua awak berhasil diselamatkannya. Dari sini banyak orang yang mendengar tentang kehebatan, dan budi baik Mo Niang. Ia pun semakin terkenal dan dihormati.

Ada versi legenda yang mengatakan, pada usia 23 tahun, Mo Niang berhasil menaklukkan 2 orang sakti yang menguasai pegunungan Tao Hua Shan. Keduanya adalah Chien Li Yen yang punya penglihatan sangat tajam dan Hsun Feng Erh yang pendengarannya sangat peka. Setelah dikalahkan akhirnya mereka menjadi pengawalnya.

"Mimpi Buruk"
Lin Mo Niang memang sangat cantik dan baik hati, namun ia tidak pernah menikah. Setidaknya ia memang membaktikan dirinya untuk menolong sesama dan berbuat kebaikan sesuai ajaran kebajikan.

Menginjak usia 28 tahun, di musim panas (sekitar tahun 987 M), sebuah "tragedi" terjadi. Saat itu Lin Mo Niang sedang menenun pakaian. Namun karena lelah, ia pun tertidur pulas.

Sementara itu ayah dan saudaranya sedang berlayar pulang ke Mei Zhou dari perjalanan jauh. Kapal yang mereka tumpangi diserang badai dan akhirnya tenggelam.

Bersamaan dengan itu, Mo Niang bermimpi, ia merasa rohnya melayang-layang di atas permukaan laut. Ia terkejut saat menyaksikan kapal sang ayah tenggelam. Ayah dan saudaranya pun terseret masuk ke dalam amukan badai. Mo Niang segera berenang dan menyelam ke laut untuk menolong mereka. Ia menggigit baju sang ayah sementara dengan tangan yang lain ia menyeret abangnya. Bersusah payah ia mencoba menyelamatkan kedua orang yang dikasihinya itu.

Namun saat penyelamatan masih berlangsung, tiba-tiba ibunya memanggil. Ia pun terkejut dan berteriak kaget, sehingga gigitannya terlepas sementara tangannya tetap menyeret tubuh abangnya. Tetapi saat terbangun Lin Mo Niang mendapati dirinya masih di ruang tenun. Ia pun menceritakan mimpinya itu pada sang ibu. Wang Shi, ibunya, berkata bahwa itu hanya mimpi.

Tetapi tak lama kemudian, sebuah kabar buruk pun datang. Seorang pelaut memberitahu bahwa kapal yang ditumpangi Lin dan putranya tenggelam. Jasad Lin tidak ditemukan, tetapi Hong abangnya berhasil diselamatkan.

Mendengar kabar itu, betapa pilu hati Mo Niang. Dalam keadaan sedih ia pun segera berlayar ke laut. Selama tiga hari tiga malam ia berusaha menemukan jasad ayahnya. Pencariannya tak sia-sia. Ia pun kemudian ke Pantai Mei Zhou bersama jasad sang ayah.


Menjadi Dewi
Sejak kematian sang ayah, Mo Niang setiap hari bersedih dan selalu menangis. Hingga pada tanggal 8 bulan 9 tahun Imlek (987 M), ia pun mengakhiri kepiluannya. Saat itu ia berkata kepada seluruh keluarga dan ibunya bahwa ia akan menyendiri dan menjauhi keramaian duniawi. Ia akan pergi dalam perjalanan yang sangat jauh.

Keesokan harinya, tanggal 9 bulan 9 Imlek (987 M), Lin Mo Niang melakukan persiapan. Ia sembahyang dengan sangat khusyuk sambil merapal kitab-kitab suci. Suasana sangat hening dan memilukan. Seluruh keluarga pun kini yakin bahwa Mo Niang memang bertekad akan pergi jauh.

Ibunya meminta Mo Niang untuk tidak pergi seorang diri dan menawarkan seorang pendamping dalam perjalanannya. Namun Mo Niang menolaknya dengan halus dan menyakinkan seluruh keluarga bahwa kini sudah tiba waktunya untuk pergi seorang diri.

Usai memanjatkan doa, tiba-tiba langit di sekitar kediaman keluarga Lin di Pulau Mei Zhou dikelilingi selubung awan putih. Pendar sinar warna-warni yang indah terlihat di atas langit. Banyak orang yang menyaksikan sinar terang dan sosok Dewi Kuan Im berada di atas sebuah awan yang paling terang.

Lalu tiba-tiba Lin Mo Niang menatap ke atas dan melompat ke awan. Awan tiba-tiba menutup dan terang cahaya semakin memudar. Akhirnya awan membumbung terbang jauh seiring sinar yang menghilang lenyap… langit pun kembali normal. Lin Mo Niang pun lenyap bersama awan…

Klenteng Dewi Ma Zu
Lin Mo Niang tetap dikenang sampai seribuan tahun. Perempuan yang sudah dianggap sebagai Dewi Ma Zu itu, hingga kini tetap dipuja sebagai "Bunda Pelindung" dan "Bunda Penolong" bagi sebagian besar orang Tiongkok.

Setelah "kepergiannya" yang gaib, di Pulau Mei Zhou (Matsu), sebuah klenteng dibangun untuk pemujaannya. Klenteng itu dikenal sebagai Tian Hou Gong (Istana sang Dewi).

Kini, diperkirakan sekitar 5.000-an unit klenteng Ma Zu di dua puluh negara di dunia sudah didirikan. Seluruh klenteng itu dibangun untuk memuja dan sembahyang kepada Dewi Ma Zu oleh sekitar 200 juta jiwa orang yang mempercayainya.

Setiap tahunnya, lebih dari sejuta orang memenuhi klenteng itu untuk sembahyang dan meminta berkat pada Dewi Ma Zu. Karena orang Tiongkok percaya bahwa Dewi Ma Zu bisa melindungi dan mengabulkan segala permohonan mereka. Bahkan kaum pelaut di wilayah pantai dan perairan Timur RRC (termasuk Taiwan) memuja Dewi Ma Zu sebagai Dewi Pelindung Laut. Dewi yang melindungi mereka saat melaut.

Dua tahun sekali, persisnya pada tanggal 23 bulan 3 dalam penanggalan lunar (kalender China/imlek) dan tanggal 9 bulan 9, pemuja Dewi Ma Zu, berkumpul dan melakukan sembahyang di klenteng Dewi Ma Zu untuk menghormatinya. Tanggal 23 bulan 3 adalah peringatan ulang tahunnya dan tanggal 9 bulan 9 adalah peringatan wafatnya.

Hingga kini, Klenteng Ma Zu di Pulau Mei Zhou sebagai klenteng pertama bagi Lin Mo Niang, tetap dipenuhi orang.

Bahkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Selat Taiwan, Laut China Timur. Klenteng itu dibangun pada masa Dinasti Song sekitar tahun 987 M di puncak sebuah bukit. Ditandai dengan patung Dewi Ma Zu setinggi 14,35 meter. Inilah yang menjadi lambang kebanggaan dan ciri khas budaya penduduk Pulau Mei Zhou.

Sejak tahun 1998, pemerintah Pulau Mei Zhou juga telah membangun sebuah Istana Dewi Ma Zu di dekat klenteng tuanya.

Bangunan istana ini didirikan sepanjang 323 meter dengan lebar bangunan 99 meter. Arsitekturnya ditata seindah mungkin mengikuti garis kontur perbukitan di pulau tersebut. Istana Dewi Ma Zu ini sangat megah.

Mengimbangi kemegahan Potala Palace tempat Dalai Lama Tibet di Lhasa. Bangunan istana untuk menghormati Dewi Ma Zu ini selesai dikerjakan pada 2002. Kini menjadi satu obyek wisata yang cukup tersohor.

Sementara di Indonesia, khususnya di Medan, terdapat juga klenteng Dewi Ma Zu (Dewi Macho) di kawasan Jalan Pandu Medan. Selain itu juga tersebar di tepi pantai timur Sumatera dan daerah lainnya.

Kepercayaan kepada Dewi Ma Zu
Dewi Ma Zu sangat diagungkan di Taiwan. Hampir seluruh warga Taiwan selalu memuja dan menghormati Dewi Ma Zu. Bukan hanya rakyat biasa, para pejabat tinggi pemerintahan juga senantiasa memohon restu padanya.

Bahkan Presiden Taiwan sendiri, Chen Shui-bian, juga kerap mengunjungi klenteng Dewi Ma Zu untuk meminta restu dan perlindungan dari sang dewi, agar ia senantiasa dicintai rakyatnya. Pada saat menjelang Pemilu di Taiwan, banyak kandidat dan tokoh politik yang juga melakukan sembahyang di Klenteng Dewi Ma Zu.

Sementara kisah-kisah rakyat dan para pelaut menyebutkan bahwa penampakan Dewi Ma Zu sering terlihat. Umumnya saat ombak laut sedang mengganas atau badai mendera. Dewi Ma Zu disebutkan hadir untuk menolong para pelaut yang mempercayainya.

Konon kehadiran Dewi Ma Zu ini ditandai dengan sinar merah terang. Mungkin karena sejumlah saksi mata yang pernah terselamatkan dari amuk lautan mengatakan bahwa Dewi Ma Zu senantiasa menggunakan pakaian merah sambil memegang lampion terang benderang yang juga berwarna merah. Dengan panduan lampion tersebut, Dewi Ma Zu membimbing pelaut dan nelayan meniti gelombang menuju tempat yang aman.

Karena itulah Dewi Ma Zu begitu populer dikalangan masyarakat nelayan dan desa-desa tepi laut. Bahkan sejak dulu para pelaut Tiongkok selalu sembahyang kepada Dewi Ma Zu agar diberi keselamatan dalam pelayaran. Mereka juga memasang patung Dewi Ma Zu di kapalnya.

Walau dikenal sebagai Dewi Pelindung Laut, Dewi Ma Zu tetap saja dipuja bukan oleh kalangan nelayan dan pelaut semata. Ia juga dipercaya dapat memberikan berkat untuk menyembuhkan penyakit, menepis bencana dan malapetaka, memberi kesuburan, sampai memberi perlindungan dan keselamatan.

Tentang Fu Lu Shou


FU LU SHOU itu dewa atau sekadar lambang “Kebahagiaan”, “Kesejahteraan” dan “Umur Panjang” ???    Karena pernah aku dibilangin oleh seorang teman Tao’ku, bahwa Fu Lu Shou itu bukan Shen/Dewa, tapi hanya sekadar lambang/simbol.
Tetapi setahu aku, kalau Shen/Dewa SHOU SHING KONG itu khan ada ???    Nah yang 2 lagi itu, namanya apa aja ???
Dewa SHOU itulah yang pertama disebut ada pada zaman Dynasti JIN awal.    Pada waktu itu dikatakan Dewa SHOU adalah NAN CIK LAO REN XING = Bintang Kutub Selatan = Bintang Orang Tua.   Dari ketiga bintang di atas, yang paling populer adalah SHOU XING (Bintang kutub Selatan), yang hanya dapat dilihat di daerah Tiongkok bagian Selatan saja.
Kemudian, bersamaan dengan semakin banyaknya cerita2 yang beredar di dalam masyarakat, akhirnya jadilah Dewa SHOU dengan ciri2nya sebagai berikut, “Orang tua yang kepalanya besar dan panjang, berwajah bijak & ramah, tubuhnya pendek, janggutnya putih, membawa tongkat berkepala naga dan membawa buah Xian Dou, dan sering dikelilingi oleh kelelawar dan rusa berbintik-bintik putih”.
Kalau Dewa FU, dalam legenda/cerita masyarakat Tiongkok ada banyak, tetapi yang bisa mewakili adalah BE CIAN, yaitu Jenderal Perang dari Kaisar HAN YUAN (HAN YUAN HUANG DI).   Karena jasa2nya, maka ketika gugur dalam perang melawan pemberontakan Man Yu, maka oleh Maha Dewa diangkat sebagai Shen/Dewa FU (QING FU ZHENG SHEN).
Nah setelah ada Dewa SHOU dan Dewa FU, masih juga dirasakan adanya kekurangan ………, maka untuk melengkapinya, diciptakanlah sosok Dewa LU yang punya ciri2 : “Berwajah tampan dan berseri-seri, tinggi badan semampai, mengenakan jubah hijau daun, kemana-mana selalu diikuti oleh seekor Rusa Sakti”.
Sekarang lengkaplah sudah Dewa FU, LU dan SHOU yang bisa mewakili semua “kebutuhan”  masyarakat, yang pada umumnya selalu punya keinginan untuk bisa mendapatkan “REJEKI” yang berlimpah, “KEDUDUKAN” yang berjaya dan “KESEHATAN” yang prima dan berumur panjang.    Ha… ha… ha…
Jadi, menurut Tokoh Agama TAO yang ahli dalam astronomi, FU ; LU ; SHOU, sebenarnya adalah nama2 yang mewakili rasi bintang tertentu. Yang digunakan untuk meramalkan “Rejeki”, “Kejayaan” dan “Kesehatan/Usia” seseorang.
Hal ini ada baiknya juga, untuk selalu menentramkan psikologis masyarakat, supaya selalu punya harapan dan cita2, untuk mendapatkan semua yang diinginkannya, bila di rumah memiliki Altar FU LU SHOU.


Tradisi Pemujaan Dewa Dapur

Berdasarkan adat resam rakyat China, setiap keluarga pada hari yang ke-23 bagi bulan ke-12 mengikut kalendar China akan mengadakan upacara untuk memuja dewa dapur dan juga dari hari inilah bermulanya sambutan perayaan Tahun Baru China.
Antara dewa-dewi dalam riwayat rakyat China, dewa dapur ialah dewa yang paling bersejarah. Sejak lebih 2000 tahun yang lalu, penduduk China telah mempunyai tradisi untuk memuja dewa dapur.
Khabarnya, dewa dapur ialah dewa yang menjaga dapur dan juga mengawasi tingkah laku semua ahli keluarga. Dewa dapur juga dipuja sebagai dewa penjaga sesebuah keluarga. 


Pada masa lampau, semua keluarga akan menempatkan papan pemujaan dewa dapur di dapur untuk disembah, manakala, gambar dewa dapur juga akan digantung pada dinding dapur. Pada gambar dewa itu terdapat tulisan yang berbunyi "Dewa Pengawas Dunia" ataupun "Ketua Keluarga". Menurut riwayat rakyat China, semasa penghujung sesuatu tahun, dewa dapur akan naik ke syurga untuk melaporkan kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan oleh keluarga yang diawasinya dalam sepanjang tahun itu kepada dewa tertinggi di syurga. Maka, dewa tertinggi akan memutuskan nasib keluarga itu pada tahun yang akan datang berdasarkan laporan dewa dapur itu. Oleh sebab dewa dapur naik ke syurga pada setiap hari yang ke-23 bagi bulan 12 mengikut kalendar China, jadi upacara pemujaan dewa dapur juga diadakan pada hari itu. 


Pada hari upacara pemujaan dewa dapur itu diadakan, semua ahli keluarga akan berkumpul di dapur pada waktu senja. Mereka akan menghidangkan makanan di depan gambar dewa dapur dan membakar colok untuk memberi penghormatan kepada dewa dapur. Antara makanan yang mesti dihidangkan kepada dewa dapur ialah "tang gua", sejenis gula-gula yang sangat melekit. Kononnya, dewa dapur sangat suka makan gula-gula itu, setelah dewa dapur memakan gula-gula itu, mulutnya akan melekat. Jadi, apabila dewa itu naik ke syurg, dewa itu tidak dapat memperkatakan keburukan keluarga itu. Selepas upacara pemujaan yang ringkas, gambar dewa dapur akan dibakar supaya dewa dapur dapat naik ke syurga bersama-sama asap melalui cerobong dapur. Kemudian, pada malam sebelum Tahun Baru China iaitu hari terakhir bagi sesuatu tahun, semua ahli keluarga akan mengadakan upacara menyambut kekembalian dewa dapur dan menggantungkan gambar dewa dapur yang baru pada dinding dapur. Oleh yang demikian, dewa dapur yang baru dapat kembali ke dunia manusia bagi meneruskan tugasnya untuk menjaga keluarga itu. 





Menurut adat resam rakyat China, hari pemujaan dewa dapur juga dianggap sebagai permulaan bagi perayaan Tahun Baru China dan suasana seri perayaan juga semakin terserlah. Di sini, saya akan perkenalkan satu pepatah adat yang membayangkan cara penduduk China menyambut Tahun Baru China. Pepatah itu mengenai tata cara persiapan untuk menyambut ketibaan Tahun Baru China. Pepatah itu berbunyi: tujuh hari sebelum Tahun Baru China menyediakan "tang gua" untuk dewa dapur, enam hari sebelumnya membersihkan rumah, lima hari sebelumnya membuat tauhu, empat hari sebelumnya membeli daging, tiga hari sebelumnya menyembelih ayam, dua hari sebelumnya menguli tepung, sehari sebelumnya membeli minuman keras dan pada malam menjelang ketibaan Tahun Baru China, semua ahli keluarga akan membuat "Jiaozi" iaitu "Chinese dumpling" untuk dijadikan hidangan dan dimakan bersama-sama.

 

Kini istiadat pemujaan dewa dapur itu tidak lagi diamalkan oleh penduduk di bandar, sebaliknya penduduk di kawasan desa masih memegang istiadat itu. Walau bagaimanapun, hari ke-23 bagi bulan ke-12 kalendar China telah menjadi tanda permulaan sambutan perayaan Tahun Baru China.



DEWA PERJODOHAN ( YUE XIA LAO REN, YIN YAN LAO REN )






Yue Xia Lao Ren seringkali disebut Yue Leo Gong (Gwat Loo Kong -Hokkian) yang berarti "orang tua dari bulan". Tugas dewa ini adalah mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan peijodohan. Kelenteng pemujaan Yue Lao Gong yang paling terkenal di Taiwan adalah di Guan Yin Ding.
Kabarnya, pria dan wanita yang berpacaran sering bersembahyang di altamya. Kalau asap hio yang di tancapkan di situ bersatu dan naik bersama - sama, maka kedua pasangan ini boleh menjadi suami istri, tetapi bila asap hio tersebut berpencar, hubungan mereka tidak boleh berlanjut, sebab akan berakhir dengan sia - sia.
Kalau pasangan itu menikah, mereka sebaiknya bersembahyang di depan altarnya dengan membawa kain
merah agar Yue Lao Gong mengikat jodoh mereka.
Hari ulang tahun Yue Lao Gong diperingati pada tanggal 15 bulan 8 Imlik (Pek Gwee Cap Go).
Menurut para ahli sejarah, pemujaan Yue Xia Lao Ren, dimulai pada jaman Dinasti Tang. Dikisahkan pada tahun Zhen-guan ke 2 (628 Masehi), seorang terpelajar, Wei Gu, dalam penggembaraannya sampai di kota Song-cheng. Ia memang gemar melakukan perjalanan untuk memperdalam ilmu sastranya dan sekaligus mencari jodoh.
Suatu ketika ia melihat seorang tua sedang duduk membaca buku, di bawah sinar bulan purnama, huruf dalam buku itu tampak aneh sekali dan belum pernah dilihat. Ketika Wei Gu menanyakan siapa sesungguhnya dia, si tua menjawab bahwa ia bukan berasal dari dunia manusia dan tugasnya adalah merangkapkan jodoh antara pria dan wanita di kaiangan manusia, sedangkan buku yang dibawanya adalah buku yang mencatat perjodohan itu. Lalu si tua mengeluarkan seutas benang merah sambil berkata: "Pria dan wanita yang kakinya telah terikat dengan benang ini akan menjadi suami isteri selama-lamanya."
Ketika menanyakan siapa calon isterinya dan dimana dia sekarang berada, si tua menjawab bahwa wanita calon isteri Wei Gu saat itu masih berusia 3 tahun, mereka akan menikah 14 tahun kemudian.
"Kalau kau ingin melihat calon isterimu ikutlah dengan aku" kata si tua kemudian. Mereka kemudian berjalan kembali ke kota Song-chen dan memasuki sebuah pasar. Disana mereka melihat seorang wanita yang matanya buta sebelah, sedang menjual sayuran, sambil menggendong seorang bocah perempuan berusia 3 tahun. Melihat itu, We Gu jadi naik pitam. Betapa tidak. Ia dari keluarga berada, bagaimana dapat berjodoh dengan seorang wanita anak penjual sayur yang miskin. "Kalau memang dia calon jsteriku, akan kubunuh", katanya. "Semua ini telah ditentukan oleh takdir, anda tak akan berhasil membunuhnya," kata si orang tua aneh, yang kemudian lenyap. Sampai di rumah, Wei Gu mengupah seorang abdinya untuk membunuh anak perempuan penjual sayuran itu. Tergiur akan hadiah yang dijanjikan sang abdi melakukan perintah tuannya. Dia berhasil menusuk anak perempuan itu, tapi tentang hidup atau matinya ia sendiri tak dapat memastikan. Tapi dalam hatinya Wei Gu merasakan penyesalan atas perbuatannya. Untuk melupakan peristiwa itu, ia lalu meninggalkan kota Song-cheng.
Setelah itu Wei Gu telah berusaha beberapa kali meminang gadis dari keluarga terkemuka, tapi ia tetap gagal. Sampai akhirnya ia berhasil memperoleh jabatan di kota Xiang-zhou, ia telah berusia 30 tahun dan tetap membujang. Gubernur Xiang-xhou mempunyai seorang putri yang cantik. Ia terkesan akan pribadi Wei Gu, dan bermaksud menjodohkan dengan putrinya itu.
Mendengar ini Wei Gu girang buka buatan, karena calon isterinya ini tidak saja cantik tapi juga dar
keluarga pejabat tinggi,
Setelah menikah, Wei Gu merasa heran sebab isterinya tidak pernah melepaskan kain penutup pundaknya. Ketika didesak, akhirnya sang isteri mengaku bahwa sesungguhnya ia menyembunyikan bekas luka di pundaknya. Sesungguhnya ia adalah putri wedana dari kota Song cheng. Pada waktu berusia 3 tahun ayahnya meninggal dan ibunya menyusul tak lama kemudian.
Kemudian ia dirawat oleh babu susu nya, sambil berjualan sayur di pasar. Pada waktu itu, tanpa tahu sebab musababnya seorang lelaki berusaha membunuhnya, tapi ia selama hanya pundaknya saja yang terluka. Kemudian pamannya yang sekarang menjadi gubernur Xiang-zhou mengambilnya dan memungut nya sebagai anak .
Mendengar kisah ini Wei Gu jadi terperanjat Ketika ditanyakan apakah babu susunya yang berjualan sayur itu
mempunyai mata sebelah, sang isteri mengiakan.
Begitu juga ketika dicocokkan tanggal peristiwa itu terjadi. Tak pelak lagi isterinya ini adalah bocah perempuan yang disuruhnya untuk dibunuh 14 tahun yang lalu di pasar sayur kota Song-cheng. Dalam penyesalannya Wei Gu lalu menceritakan ikhwalnya mulai dari pertemuannya dengan orang tua aneh di bawah sinar bulan yang kemudian disebutnya sebagai Yue Xia Lao Ren sampai ia menyuruh abdinya untuk membunuh bocah perempuan anak penjual sayur bermata sebelah yang sekarang menjadi isterinya.
Mereka sekarang baru yakin bahwa Yue Xia Lao Ren telah merangkap jodoh mereka, lalu mengadakan sembahyang untuk mengucapkan terima kasih.
Kisah ini kemudian beredar dari jaman ke jaman, dan Yue Xia Lao Ren kemudian dipuja sebagai Dewa yang mengatur perjodohan.

Pemujaannya kemudian tersebar luas ke seluruh negara. Di Tiongkok daratan hampir tiap kota terdapat kelenteng untuk memuja Yue Lao Gong ini, dan yang paling terkenal adalah yang terdapat di kota Hang-zhou.
Yin Yan Lao Ren juga disebut Yin Yan Gong. Ia khusus mengurus buku yang memuat peijodohan. Pria dan wanita yang telah tercatat di dalam buku itu boleh menjadi suami istri. Di Kelenteng Tian Hou Gong (Tainan) terdapat pemudjaan untuk dewa ini hari lahirnya adalah Pek Gwee Cap Go ( Sembahyang Tiong jiu) 


Airmata Putri Meng Jiang meruntuhkan Tembok Raksasa


Putri Meng Jiang dikabarkan pernah hidup pada 2.200 tahun yang lalu semasa dinasti Qin. Keberadaannya telah menjadi legenda dimasyarakat hingga kini, berikut kisahnya :
Sebuah keluarga yang bermarga Meng suatu ketika menanam labu manis disepanjang pagar rumahnya. Tumbuhan tersebut tumbuh dengan pesat dan merambat melewati pagar pembatas yang bersebelahan dengan keluarga bermarga Jiang. Sebuah labu manis besar tumbuh didekat pagar tersebut, saat keluarga Meng membelah labu itu, tiba-tiba muncul seorang gadis cilik dari dalam labu.
Gadis cilik ini kemudian bernama putri Meng Jiang. Dia tumbuh menjadi seorang gadis cantik laksana dewi kayangan, dia juga terkenal ramah dan cerdas, piawai dalam membuat puisi dan bermain musik serta mendalami nilai-nilai Konfusius. Pasangan tua Meng memperlakukannya seperti anak mereka sendiri.
Kaisar pertama dinasti Qin sangat kejam dan lalim. Demi mempertahankan keutuhan dinasti yang baru tumbuh ini, dia memerintahkan ratusan pemuda bekerja sebagai budak untuk membangun Tembok Besar disisi utara tanpa memperdulikan keselamatan jiwa mereka. Banyak pemuda yang meninggal karena kelelahan.
Tersebutlah seorang pelajar bernama Wan Xiliang yang melarikan diri dari rumahnya untuk menghindari kerja paksa tersebut, dia bersembunyi dihalaman belakang keluarga Meng. Tanpa sengaja Putri Meng Jiang menemukannya, dan memberitahu ayahnya. Ayah putri Meng adalah orang yang berhati baik, beliau memutuskan untuk menolong Wan menghindar dari pemerintah.
Selama dalam persembunyiannya dirumah Meng, keluarga Meng akhirnya mengenal dan menyadari bahwa Wan Xiliang adalah seorang pelajar yang cerdas dan baik budi, sehingga mereka menjodohkannya dengan puri Meng Jiang.
Tiga hari setelah perkawinan secara sembunyi-sembunyi mereka, sekelompok petugas pemerintah menggeledah rumah keluarga Meng dan membawa pergi Wan Xiliang. Putri Meng Jiang tahu kalau suaminya akan dijadikan budak pembangunan Tembok Besar. Setahun lamanya dia menunggu, airmata seringkali membasahi bantalnya. Namun tak ada kabar berita dari sang suami. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari suaminya. Namun seberapa jauhkah Tembok Besar itu ? Setelah berjalan kaki berhari-hari lamanya, putri Meng Jiang bertanya kepada seorang kakek tua. Kakek itu menjawab, “Ada suatu tempat yang sangat jauh bernama propinsi You ; Tembok Besar itu ada jauh disebelah utaranya.”
Selama dalam perjalanan putri Meng Jiang mengalami banyak penderitaan. Dia berjalan seharian dan bermalam dimanapun dia berhenti. Dia makan roti dingin dan minum air dari sungai yang dia jumpai. Seringkali dia kelelahan dan kedinginan, namun dia tetap melanjutkan perjalanan, tak peduli hujan dan terik mentari, tanah lapang ataupun pegunungan berbatu. Seringkali dia dibantu oleh beberapa keluarga yang ditemui selama perjalanannya.
Akhirnya putri Meng Jiang tiba di Tembok Besar pada suatu hari musim gugur yang dingin. Hatinya tersayat saat melihat para pekerja membawa muatan yang berat dibawah pengawasan penjaga. Dia lalu bertanya kepada orang-orang dimana suaminya Wan Xiliang berada, namun yang didapat hanyalah kabar suaminya telah meninggal beberapa hari setelah ditangkap. Tubuhnya dikubur dibawah Tembok Besar.
Seketika putri Meng Jiang terguncang oleh kesedihan yang teramat dalam ; dia menangis dan menangis diatas Tembok Besar tersebut, airmatanya mengalir bagaikan sungai. Dia memukul-mukul Tembok Besar itu, menyesali kematian suami dan takdir dirinya. Tangisannya membuat trenyuh para pekerja dan penjaga, sehingga menghentikan pekerjaan mereka dan ikut mencucurkan airmata bersamanya. Langit menjadi gelap dan angin dingin musim gugur menjadi lebih menyengat seperti ikut berduka.
Tiba-tiba sebuah dentuman keras memecah keheningan, sebagian Tembok Besar runtuh, memperlihatkan sisa-sisa tubuh pekerja yang terkubur dibawahnya. Melihat tulang belulang itu, putri Meng Jiang berpikir bagaimana dia dapat mengenali milik suaminya. Kemudian dia teringat perkataan orang kuno bahwa tulang orang yang meninggal hanya dapat menyerap darah anggota keluarganya. Dia lalu menggores ujung jarinya dan membiarkan darahnya jatuh mengucuri tulang belulang itu. Akhirnya dia menemukan tulang belulang suaminya, lagipula dia mengenali kancing baju yang pernah dia jahit untuknya. Putri Meng Jiang mengubur mayat suaminya menurut ritual layaknya sorang istri yang sangat mencintai suaminya.
Menurut legenda, bagian Tembok Besar yang runtuh akibat airmata putri Meng Jiang tidak pernah dibangun lagi (jika dibangun kembali akan segera runtuh). Kisah putri Meng Jiang menjadikan dirinya sebagai sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat Tiongkok dari generasi ke generasi. Kuil persembahan putri Meng Jiang berdiri pertama kali pada waktu dinasti Song, kira-kira 1000 tahun yang lalu, terus terpelihara dan disembah dari permulaan berdirinya Tembok Besar hingga hari ini didaerah Timur.


SEJARAH DEWI KWAN IM

Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama SM, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari Kwan Im di dunia.
Jauh sebelum masuknya agama Buddha, menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Kwan Im (Hanzi:::;Pinyin: Guan Yin) sendiri adalah dialek Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Cina di Indonesia. Nama lengkap dari Kwan Im adalahKwan She Im Phosat (Hanzi::::, pinyin: Guan Shi Yin Pu Sa) yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskrit,Avalokitesvara.


Nama Lain

Kwan Im di Asia Timur, dikenal dengan berbagai nama. Akan tetapi “Kwan Im” atau “Kwan Tse Im” masih merupakan panggilan sederhana yang diberikan untuknya. Berikut adalah beberapa panggilan atau sebutan yang diberikan berdasarkan negara tertentu:
Di negara Jepang, Kwan Im Pho Satlebih dikenal dengan nama Dewi Kannon (::) atau secara resmiKanzeon (:::). Dalam bahasaKorea disebut Gwan-eum atauGwanse-eum, dalam bahasaThailand dikenal sebagai Kuan Eim(::::::) atau Prah Mae Kuan Eim(:::::::::), di Hongkong (propinsi Guang Dong); Kwun Yum atau Kun Yum, pelafalan ini berdasarkan bahasa Kanton, dan dalam bahasaVietnam, Quán Âm atau Quan Th: Âm B: Tát.

Arti Nama

Dikemudian hari, Dewi Kwan Im, identik dengan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara. Secara absolut, pengertian Avalokitesvara Boddhisatvadalam bahasa Sansekerta adalah :
· Valokita (Kwan / Guan / Kwan Si / Guan Shi) yang bermakna “Melihat ke bawah atau Mendengarkan ke bawah”. Bawah di sini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (lokita).
· Svara (Im / Yin) berarti suara. Yang dimaksud adalah suara dari makhluk-makhluk yang menjerit atas penderitaan yang dialaminya. Oleh sebab itu Kwan Im adalah Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan dan penyayang.

Masa Kecil Kwan Im

Dewi Kwan Im (Miao San ) lahir pada tanggal 19 bulan 2 tahun Kongcu – lik, pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi.Pada tanggal 19 bulan 6 yaitu pada usia 17 tahun memperoleh Penerangan dan mencapai tingkatan Boddisattva / Hud / Fo. Pada tanggal 19 bulan 9 di tahun yang sama, mencapai kesempurnaan dan berhasil Mokswa, naik ke langit bersama badan kasarnya menjadi Kwan Se Yin Pao Sat Jien So Jien Yen atau Dewi Kwan Im Tangan Seribu – Mata Seribu – Kepala Seribu. Dewi Kwan Im selalu membawa botol Amertha atau wadah suci berisi Embun Welas Asih yang berkhasiat mensucikan segala kotoran ( dosa ) serta menyembuhkan.

Kendaraan Dewi Kwan Im

Dewi Kwan Im Miao San mengendarai Ikan Tombro yaitu lambang keteguhan menghadapi tantangan (seperti Ikan Tombro berenang melawan arus meloncati jeram) jadi seruan agar umat teguh tekadnya dan kuat menghadapi tantangan di dunia dengan jalan yang benar. Bertangan Seribu, Bermata Seribu bahkan Berkepala Seribu lambang bisa mampu menjangkau berbagai hal, Penyayang dan penuh Welas Asih.
Kadang naik Bunga Teratai lambang Kesucian yang selalu bersih, biarpun tumbuh di atas Lumpur, agar umat meneladani makna yang tersirat dalam kehidupannya.

Perwujudan Kwan Im

Kwan Im (Avalokitesvara) sendiri asalnya digambarkan berwujud laki-laki diIndia, begitu pula pada masa menjelang dan selama Dinasti Tang (tahun618-907). Namun pada awal Dinasti Sung (960-1279), berkisar pada abad ke 11, beberapa dari pengikut melihatnya sebagai sosok wanita yang kemudian digambarkan dalam para seniman.Perwujudan Kwan Im sebagai sosok wanita lebih jelas pada masa Dinasti Yuan (1206-1368). Sejak masa Dinasti Ming, atau berkisar pada abad ke 15, Kwan Im secara menyeluruh dikenal sebagai wanita.
Bila sudah mencapai taraf Buddha sudah tidak lagi terikat dengan bentuk apalagi gender, karena pada dasarnya roh itu tidak mempunyai bentuk fisik dan gender. Menurut cerita, Dewi Kwan Im adalah titisan Dewa Che Hangyang ber-reinkarnasi ke bumi untuk menolong manusia keluar dari penderitaan, karena beliau melihat begitu kacaunya keadaan manusia saat itu dan sebagai akibatnya terjadi penderitaan di mana-mana.
Dewa Che Hang memilih wujud sebagai wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolonganNya. Disamping itu agar lebih bisa meresapi penderitaan manusia, bila dalam bentuk wanita, karena di jaman itu, wanita lebih banyak menderita dan kurang leluasa dalam membuat keputusan.

Dalam sejumlah kitab Budhisme Tiongkok klasik, seperti Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biau Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 penjelmaan Kwan Im Pho Sat, antara lain :
1.Kwan Im Berdiri Menyeberangi Samudera;
2.Kwan Im Menyebrangi Samudera sambil Berdiri diatas Naga;
3.Kwan Im Duduk Bersila Bertangan Seribu;
4.Kwan Im Berbaju dan Berjubah Putih Bersih sambil Berdiri;
5.Kwan Im Berdiri Membawa Anak;
6.Kwan Im Berdiri diatas Batu Karang/Gelombang Samudera;
7.Kwan Im Duduk Bersila Membawa Botol Suci & Dahan Yang Liu;
8.Kwan Im Duduk Bersila dengan Seekor Burung Kakak Tua.

Selain perwujudan yang beraneka bentuk dan posisi, nama atau julukan Kwan Im (Avalokitesvara) juga bermacam-macam, ada Sahasrabhuja Avalokitesvara (Qian Shou Guan Yin), Cundi Avalokitesvara, dan lain-lain. Walaupun memiliki berbagai macam rupa, pada umumnya Kwan Im ditampilkan sebagai sosok seorang wanita cantik yang keibuan, dengan wajah penuh keanggunan.
Selain itu, Kwan Im Pho Sat sering juga ditampilkan berdampingan denganBun Cu Pho Sat dan Po Hian Pho Sat, atau ditampilkan bertiga dengan :Tay Su Ci Pho Sat (Da Shi Zhi Phu Sa) – O Mi To Hud – Kwan Im Pho Sat.
Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou / Ta Pei Shen Cou)ada 84 perwujudan Dewi Kwan Im sebagai simbol dari Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar.
Altar utama di Kuil Pho To Sandipersembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagaiBudha Vairocana, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 perwujudan lainnya. Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie (salah satuKelenteng tertua di Indonesia adalahKing Cee Kwan Im (Kwan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia).
Disamping itu terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Qian Shou Guan Yin (Kwan Im Seribu Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatNya. Julukan Beliau secara lengkap adalah Tay Cu Tay Pi – Kiu Kho Kiu Lan – Kong Tay Ling Kam – Kwan Im Sie Im Pho Sat.
Ketika agama Buddha memasuki Tiongkok (Masa Dinasti Han), pada mulanya Avalokitesvara Bodhisattva bersosok pria. Seiring dengan berjalannya waktu, dan pengaruh ajaran Taoisme serta Kong Hu Cu, menjelang era Dinasti Tang, profil Avalokitesvara Bodhisattva berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita.
Dari pengaruh ajaran Tao, probabilita perubahan ini terjadi karena jauh sebelum mereka mengenal Avalokitesvara Bodhisattva, kaum Taois telah memuja Dewi Tao yang disebut “Niang-Niang” (Probabilitas adalah Dewi Wang Mu Niang-Niang). Sehubungan dengan adanya legenda Puteri Miao Shan yang sangat terkenal, mereka memunculkan tokoh wanita yang disebut“Guan Yin Niang Niang”, sebagai pendamping Avalokitesvara Bodhisattva pria.
Lambat laun tokoh Avalokitesvara Bodhisattva pria dilupakan orang dan tokoh Guan Yin Niang-Niang menggantikan posisinya dengan sebutan Guan Yin Phu Sa. Dari pengaruh ajaran Kong Hu Cu, mereka menilai kurang layak apabila kaum wanita memohon anak pada seorang Dewa. Bagi para penganutnya, hal itu dianggap sesuai dengan keinginan Kwan Im sendiri untuk mewujudkan dirinya sebagai seorang wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolongan.
Dari sini jelas bahwa tokoh Avalokitesvara Bodhisattva berasal dari India dan tokoh Guan Yin Phu Sa berasal dari Tiongkok. Avalokitesvara Bodhisattva memiliki tempat suci di gunung Potalaka, Tibet,Pu Tao Shan sedangkan Kwan Im Pho Sat memiliki tempat suci di gunung di kepulauan Zhou Shan,Cina. Kesimpulan atas hal ini adalah tokoh Avalokitesvara Bodhisatva merupakan stimulus awal munculnya Kwan Im Pho Sat.
Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut.Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan bahaya. Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal galib berporos empat jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta menghindarkan dari marabahaya.
Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Tooyang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im (Miao San ) lahir pada tanggal 19 bulan 2 tahun Kongcu – lik, pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi. Terkait dengan legenda puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang / Miao Chiang / Miao Tu Huang, penguasa negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad ke-3 SM. Dinasti Zhou sendiri berkuasa dari tahun 1122 – 255 SM.
Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tetapi yang dimilikinya hanyalah 3 orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu, yang kedua bernama Miao Yin El, dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikunidi Klenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).
Miao Yin El menikah serta di kemudian hari menurunkan Raja Miao Li yang mempunyai putri bernama Yu Lan. Miao Shu dan Miao Yin lebih cenderung dimanja oleh fasilitas istana dan berfoya-foya. Sementara Miao Shan dengan rajin menjaga dan merawat kedua orang tua mereka. Dari ketiga putri sang Raja, putri ketiga lah yang sangat berbakti kepada kedua orangtua serta leluhurnya. Ia juga memperlihatkan sifat welas asih kepada semua makhluk. Itu sebabnya ia sudah vegetarian sejak balita.
Dikisahkah, saat masih bayi, bila Miao Shan mendengar kata “bunuh”, ia akan menangis sekeras-kerasnya dan tidak mau bila diberi makan daging saat balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana sangat besar sehingga ia disayangi oleh semua pihak. Ia selalu mengaplikasikan bentuk-bentuk kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam hidup sehari-harinya.
Hal tersebut menimbulkan iri hati dan benci dari kedua kakak perempuannya, sehingga dengan intrik dan hasutan jahat bekerja sama dengan seorang peramal tua yang jahat akhirnya Miao Shan diusir dari istana. Miao Shan dituduh titisan dari iblis jahat, sehingga negeri mereka yang dulunya makmur, sekarang selalu dirundung bencana. Padahal bencana dan masalah datang, karena banyak pejabat istana termasuk si peramal tua jahat itu terlibat korupsi besar-besaran, bahkan si peramal tua berambisi mengambil tahta Sang Raja.
Kelompok jahat itu mengklaim sejak Miao Shan lahir bencana susul menyusul tiada henti. Kalau bukan kekeringan, pasti kebanjiran. Kalau bukan kelaparan pasti wabah penyakit. Sehingga Miao Shan dianggap jelmaan iblis yang dikutuk oleh langit.
Dalam pengembaraannya Miao Shan mengabdikan diri sebagai samaneri(calon biksu perempuan). Tahun berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan menjadi sakit-sakitan karena merasa rindu pada putri bungsunya tersebut. Sampai akhirnya sang Raja menderita penyakit aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bisul dan borok tak tersembuhkan. Disinyalir ada hubungannya dengan ilmu iblis yang dipelajari oleh peramal tua yang mengincar tahtanya. Bahkan Raja menjadi buta dan permaisuri menjadi kelainan jiwa akibat merindukan putri bungsu mereka.
Miao Shan yang merasa iba, berkat kesaktiannya, mengubah dirinya menjadi seorang bikkhuni. Ia mendatangi istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit, dengan dalih sebagai tabib. Setelah Miao Shan membacakanparita, ayah ibunya itu merasakan damai yang tiada tara, sehingga mereka tertidur dengan damai. Namun dalam penyamarannya itu, Ia bukannya hanya mengobati, tetapi juga memberi petunjuk bahwa Sang Raja menderita penyakit aneh, dan hanya dapat sembuh jika mengkonsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata yang berasal dari tubuh putri kandungnya. Tentu saja ayah ibunya tidak mendengar hal ini karena sudah tertidur, kalau mendengar mungkin mereka tidak berkenan menjalankan pengobatan.
Dihadapan ibu suri dan kedua kakaknya, Miao Shan membeberkan cara pengobatan aneh itu. Di saat meminta kedua kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan dicungkil sebelah bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah mereka, saat itu juga keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda mereka, menangis tersedu-sedu.
“Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao Shu. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil dan mereka masih membutuhkan saya untuk membesarkan mereka.”
Tak lama berselang, Miao Yin menyusul dengan kalimat bernada serupa. Kali ini tangisnya lebih deras. tiba-tiba Miao Shan menengahi, dengan bijak ia berkata.”Kalau begitu biarkan daging dan bola mata saya saja yang dikorbankan untuk kesembuhan Baginda.” Saat itu kedua kakaknya belum menyadari yang dihadapan mereka adalah adik bungsunya Miao Shan, oleh karena dandanannya yang sederhana sebagai biksuni dan juga karena sekian tahun lamanya mengembara di luar.
Setelah mengiris sekerat otot lengan dan mencongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut, dengan tenang serta penuh keikhlasan, ia memberikan bagian-bagian tubuhnya itu untuk campuran ramuan obat untuk ayah ibunya. Saat mengaduk-aduk ramuan obat itu, terjadi keajaiban. Ramuan obat itu memancarkan harum wangi dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana.
Raja Miao Zhuang setelah meminum “obat mujarab” tersebut sembuh seketika dan matanya dapat melihat kembali. Atas jasanya, Raja menanyakan apa yang diinginkan oleh Miao Shan yang masih belum dikenali oleh mereka. “Hamba tidak menginginkan bayaran apapun, hamba hanya berbuat baik untuk menyebarkan dharma dan ajaran sang Buddha.” Demikian kata Miao Shan.
“Minimal apa ada permintaan biksuni agar kami tidak merasa terlalu sungkan karena tidak memberikan apa-apa.” Kata Sang Raja.
Terdiam sejenak, kemudian Miao Shan melanjutkan. “Hamba sudah lama kehilangan ayah dan ibu, bolehkan hamba memeluk Baginda dan Permaisuri sehingga kerinduan akan ayah-ibu bisa terobati?”
“Ha? Sesederhana itu? Kenapa tidak boleh… silahkan.” Sahut sang Raja.
Miao Shan menunduk dan menghampiri ayah bundanya itu, setelah bersujud di pelukan Raja ia kemudian berpindah ke pelukan permaisuri dengan airmata berlinang dan suara isak tangis. “Ibu, maafkan anak yang tidak berbakti” demikian Miao Shan berbisik. Karena jarak dekat, permaisuri baru menyadari kalau itu adalah putri bungsunya yang telah diusir dari istana akibat konspirasi pejabat yang tidak setia. Raja yang kaget dan senang bukan kepalang memeluk tubuh putri bungsunya itu dengan airmata berlinang.
Sejak itulah kebajikan dan keluhuran budi Miao Shan menjadi legenda di tanah Tiongkok. Ia menggugah ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Setelah peristiwa fenomenal tersebut, Miao Shan tetap bertekad melanjutkan pertapaannya dengan menjadi biksuni sepanjang hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tapi Raja Miao Zhung dan permaisurinya merelakan putri bungsunya tersebut, memaklumi niatnya untuk mengabdi bagi kemanusiaan.
Untuk mengenang putri bungsunya tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa terbaik di negerinya membuat patung berwujud putri Miao Shan dan mendirikan vihara Dewi Kwan Im pertama diPho To San
“Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!” demikian kata Raja Miao Zhuang dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh para pemahat arca istana. Arca rampung dengan memiliki simbolisasi seribu tangan dan seribu mata. Itulah awal ihwal Miao Shan yang melegenda menjadi Qian Shou Guan Yin (Dewi Kwan Im Seribu Tangan).
Dikisahkan ketika Miao Shan berhasil mencapai pencerahan menjadi Buddha, saat hendak memasuki gerbang Nirwana, ia mendengar banyak tangisan penderitaan dari alam manusia di bawah. Ia kemudian membatalkan memasuki Nirwana dan memilih berada di alam manusia untuk membantu setiap makhluk hidup, karena masih mendengar tangisan penderitaan manusia. Ia senantiasa menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa.
Turun temurun masyarakat Tionghoa sangat menghormati Dewi Kwan Im. Hampir di setiap rumah penganut Konfusiunisme dan klenteng-klentengpasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikanNya.

Legenda Miao Shan

Selain itu, menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada zaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM.
Disebutkan bahwa Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tapi yang dimilikinya hanyalah 3 (tiga) orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu (Biao Yuan), yang kedua bernama Miao Yin (Biao In) dan yang bungsu bernama Miao Shan (Biao Shan).
Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikuni diKlenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).
Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikuni diKlenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).

Kematian dan di alam baka

Berbagai cara diusahakan oleh Raja Miao Zhuang agar puterinya mau kembali dan menikah, namun Puteri Miao Shan tetap bersiteguh dalam pendirianNya. Pada suatu ketika, Raja Miao Zhuang habis kesabarannya dan memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan menghukum mati sang puteri.
Setelah kematianNya, arwah Puteri Miao Shan mengelilingi neraka. Karena melihat penderitaan makhluk-makhluk yang ada di neraka, Puteri Miao Shan berdoa dengan tulus agar mereka berbahagia. Secara ajaib, doa yang diucapkan dengan penuh welas asih, tulus dan suci mengubah suasana neraka menjadi seperti surga.
Penguasa Akherat, Yan Luo Wang, menjadi bingung sekali. Akhirnya arwah Puteri Miao Shan diperintahkan untuk kembali ke badan kasarNya. Begitu bangkit dari kematianNya, Buddha Amitabha muncul di hadapan Puteri Miao Shan dan memberikan Buah Persik Dewa. Akibat makan buah tersebut, sang Puteri tidak lagi mengalami rasa lapar, ke-tuaan dan kematian. Buddha Amitabha lalu menganjurkan Puteri Miao Shan agar berlatih kesempurnaan di gunung Pu Tuo, dan Puteri Miao Shan-pun pergi ke gunung Pu Tuo dengan diantar seekor harimau jelmaan dari Dewa Bumi.

Menyelamatkan raja

Sembilan tahun berlalu, suatu ketika Raja Miao Zhuang menderita sakit parah. Berbagai tabib termasyur dan obat telah dicoba, namun semuanya gagal. Puteri Miao Shan yang mendengar kabar tersebut, lalu menyamar menjadi seorang Pendeta tua dan datang menjenguk. Namun terlambat, sang Raja telah wafat.
Dengan kesaktianNya, Puteri Miao Shan melihat bahwa arwah ayahNya dibawa ke neraka, dan mengalami siksaan yang hebat. Karena rasa bhaktiNya yang tinggi, Puteri Miao Shan pergi ke neraka untuk menolong. Pada saat akan menolong ayahNya untuk melewati gerbang dunia akherat, Puteri Miao Shan dan ayahNya diserbu setan-setan kelaparan. Agar mereka dapat melewati setan-setan kelaparan itu, Puteri Miao Shan memotong tangan untuk dijadikan santapan setan-setan kelaparan.
Setelah hidup kembali, Raja Miao Zhuang menyadari bahwa bhakti ketiga putrinya sangat luar biasa. Akhirnya sang Raja menjadi sadar dan mengundurkan diri dari pemerintahan serta bersama-sama dengan keluarganya pergi ke gunung Xiang Shan untuk bertobat dan mengikuti jalan Buddha. Rakyat yang mendengar bhakti Puteri Miao Shan hingga rela mengorbankan tanganNya menjadi sangat terharu. Berbondong-bondong mereka membuat tangan palsu untuk Puteri Miao Shan.
Buddha O Mi To Hud (amitabha) yang mengetahui hal itu segera menolong dan memberikan “Seribu Tangan dan Seribu Mata, sehingga Beliau dapat mengawasi dan memberikan pertolongan lebih banyak kepada manusia. Buddha O Mi To Hud yang melihat ketulusan rakyat, juga merangkum semua tangan palsu tersebut dan mengubahNya menjadi suatu bentuk kesaktian serta memberikannya kepada Puteri Miao Shan. Lalu Ji Lay Hud memberiNya gelar Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa, yang artinya Bodhisatva Kwan Im Penolong Kesukaran Yang Bertangan Dan Bermata Seribu Yang Tiada Bandingnya, Buddha O Mi To Hud (Amitabha)

Kwan Im, Dewi Tangan seribu

Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada saat Kwan Im Phu Sa diganggu oleh ribuan setan, iblis dan siluman, Beliau menggunakan kesaktianNya untuk melawan mereka. Ia berubah wujud menjadi Kwan Im Bertangan dan Bermata Seribu, dimana masing-masing tangan memegang senjata Dewa yang berbeda jenis.
Kisah Kwan Im Lengan Seribu ini juga memiliki versi yang berbeda, diantaranya adalah pada saat Puteri Miao Shan sedang bermeditasi dan merenungkan penderitaan umat manusia, tiba-tiba kepalanya pecah berkeping-keping.

Pelantikan

Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau “Gadis Kumala” dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong) atau “Jejaka Emas”. Pada mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya.
Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik. Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah.
Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.
Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan diantara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Legenda Puteri Miao Shan

Dalam legenda Puteri Miao Shan, disebutkan bahwa kakak-kakak Miao Shan bertobat dan mencapai kesempurnaan, lalu mereka diangkat sebagai Pho Sat oleh Giok Hong Siang Te. Puteri Miao Shu diangkat sebagai Bun Cu Pho Sat (Wen Shu Phu Sa) dan Puteri Miao Yin sebagai Po Hian Pho Sat (Pu Xian Phu Sa). Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau “Gadis Kumala” dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong)atau “Jejaka Emas”.
Pada mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya. Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik.
Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah. Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.
Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan diantara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Pesona Patung Dewi Kwan Im yang Tertinggi di Asia Tenggara

 



Klenteng Vihara Avalokitesvara yang berada di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, kerap kali ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai tempat untuk berwisata religi. Keunikan dari klenteng tersebut ialah tak lain karena terdapat patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter, dan merupakan yang tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara.
Sosok Dewi Kwan Im adalah sosok seorang dewi cinta kasih sayang yang selalu dipuja oleh umat Buddha. Sejarahnya, Dewi Kwan Im merupakan Bodhisattva atau calon budha, yakni manusia yang hampir mencapai kesucian dan kesempurnaan. Selain itu, patung yang berdiri sejak tahun 2005 ini menjadi salah satu objek andalan pariwisata Kota Pematang Siantar. Terlihat dengan banyaknya pengunjung yang datang dari negeri seberang yang ingin melihat kemegahan patung Dewi Kwan Im.

"Dikerjakan langsung di Negara China. Biaya yang harus dikeluaran untuk membuat patung ini pun mencapai sembilan milyar"


Patung Dewi Kwan Im tersebut terbuat dari batu granit dimana proses pengerjaannya dikerjakan langsung di Negara China. Biaya yang harus dikeluaran untuk membuat patung ini pun mencapai sembilan milyar, dan proses pengerjaanya memakan waktu sekitar 3 tahun. Patung tersebut pun diberi penghargaan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) karena kemegahannya yang luar biasa.
Selain patung Dewi Kwan Im, di sekitar halam Vihara juga berdiri beberapa patung-patung lainnya, seperti patung beberapa shio yang diletakkan secara berurutan. Patung-patung tersebut memberikan eksotika tersendiri yang menambah keindahan bangunan vihara.
Sangat mudah untuk menemukan Vihara Avalokitesvara, karena letaknya yang strategis dan berada di jantung Kota Pematang Siantar. Tepatnya berada di Jalan Pane, Kecamatan Siantar Selatan. Jika dari Medan, untuk menuju kota kelahiran mantan wakil presiden Haji Adam Malik ini hanya memerlukan waktu sekitar 2 jam melalui perjalanan darat.